Artikel ini saya petik daripada Majalah SOLUSI , kolum Mahmudah oleh guru yang disayangi al-Ustaz al-Muhaddis Umar Muhd Nor hafizahulLah .
KEPENTINGAN REDHA :
Kali ini saya akan bercerita tentang seorang ulama ahli hadis dan fiqh di Madinah dari kalangan tabiin. Beliau adalah ‘Urwah putera pasangan dua orang sahabat Nabi Saw yang sangat terkenal, iaitu Al-Zubeir bin Al-‘Awwam dan isterinya Asma binti Abu Bakar Al-Siddiq. Sejak kecil, ‘Urwah tinggal serumah dengan adik ibunya, iaitu Aisyah binti Abu Bakar, isteri kesayangan Baginda Nabi Saw. Dan dari beliaulah ‘Urwah menimba hadis, tafsir, fiqh, faraid dan berbagai ilmu lainnya. Sehingga ketika dewasa ia diakui sebagai salah seorang daripada tujuh fuqaha Madinah (al-fuqaha al-sab’ah) yang menjadi rujukan fatwa pada masa itu. ‘Urwah bin Al-Zubeir meninggal dunia pada tahun 94 H.
Suatu hari ‘Urwah diundang oleh Khalifah Walid bin Abdul Malik untuk datang ke istananya di Syam. Di tengah perjalanan, ‘Urwah merasakan sesuatu terjadi di kakinya. Tidak lama kemudian, timbul sebuah bisul di kakinya yang lalu pecah dan menjadi sebuah luka. Setibanya di Syam, Khalifah mendatangkan seorang tabib untuk memeriksa luka tersebut. Tabib itu kemudian menyimpulkan bahwa luka itu sebuah infeksi yang jika tidak segera dihentikan dapat menyebar ke seluruh badan. Dan satu-satunya cara untuk menghentikan penyebaran infeksi itu adalah dengan memotong kaki tersebut.
‘Urwah setuju kakinya dipotong. Tabib menyarankan agar ia meminum obat bius terlebih dahulu sebelum operasi dilaksanakan agar ia tidak merasakan sakit, tapi ‘urwah menolak. Ia ingin tetap berada dalam kesadaran sehingga dapat mengingat Allah meski harus merasakan kepedihan yang sangat menyiksa. Akhirnya, jadilah tabib itu memotong kakinya dengan gergaji, sementara ‘Urwah dengan penuh kesabaran menyaksikan hal itu tanpa mengeluarkan suara kesakitan.
Pada saat yang sama, seorang anak ‘Urwah yang ikut bersamanya dalam perjalanan tersebut mengalami sebuah kemalangan. Seekor keledai menendangnya hingga mati. Apabila mendengar berita sedih ini, ‘Urwah tidak memberi komen apa-apa. Baru ketika dalam perjalanan pulang ke Madinah, ‘Urwah terdengar berkata seperti ini, “Ya Allah, Engkau memberiku tujuh orang anak. Jika Engkau mengambil satu orang, Engkau masih meninggalkan enam lainnya. Dan Engkau memberiku empat anggota (dua tangan dan dua kaki). Jika Engkau mengambil salah satunya, Engkau masih meninggalkan tiga lainnya.”
Masya Allah, tokoh besar ini masih dapat menemukan alasan untuk memuji Allah meski dalam musibah yang sangat memilu hati. Kisah ini dapat anda temui dalam kitab “Wafayat Al-A’yan” karya Ibn Khillikan dan buku muridnya: Imam Al-Dzahabi yang bertajuk “Siar A’lam Al-Nubala”.
Redha kepada Allah
Tidak banyak orang yang dapat tetap menjaga pikiran positif, apalagi bersyukur kepada Allah, di tengah hantaman musibah yang bertubi-tubi. Hanya orang-orang yang telah redha kepada Allah sahaja yang dapat melakukan hal itu. Imam Abdul Karim bin Hawazin Al-Qusyairi berkata, “Orang yang redha kepada Allah ialah orang yang tidak pernah menentang segala ketentuan-Nya.”
Sikap redha kepada ketentuan Allah didasari keyakinan teguh terhadap sifat-sifat Allah Swt seperti Maha Pengasih (Al-Rahman) penyayang (Al-Rahim), Maha Bijaksana (Al-Hakim) dan Maha Mengetahui (Al-‘Alim). Ia meyakini bahwa pengetahuan Allah jauh lebih tinggi dan lebih luas dibandingkan pengetahuan semua hamba-Nya. Justeru, Allah lebih mengetahui sesuatu yang baik atau yang buruk untuk hamba-Nya daripada hamba itu sendiri.
Dan karena sifat rahmat-Nya kepada makhluk, Allah hanya menentukan sesuatu yang terbaik untuk hamba-Nya meski ketentuan itu kadang terasa pahit. “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Qs Al-Baqarah: 216).
Namun begitu, sikap ini bukan menganjurkan sifat malas berupaya dan penyerahan diri sepenuhnya kepada nasib. Itu adalah bisikan Iblis untuk menyesatkan akal pikiran manusia. Imam Ahmad dalam kitab “Al-Zuhd” meriwayatkan daripada Ibn Syihab Al-Zuhri katanya: Iblis bertanya kepada Nabi Isa as: “Wahai Anak Maryam, bukankah musibah tidak akan menimpamu kecuali dengan ketentuan Allah?” Nabi Isa menjawab, “Benar, wahai musuh Allah.” Iblis berkata lagi, “Kalau begitu, cobalah engkau naik ke puncak gunung, lalu lemparkanlah dirimu dari atasnya. Lihatlah apakah engkau mati ataukah tidak?” Nabi Isa menjawab, “Wahai musuh Allah, sesungguhnya tuhan boleh menguji hamba-Nya, tapi hamba tidak boleh menguji tuhannya.”
Imam Al-Dzahabi dalam “Tazkiratul Huffaz” menceritakan ucapan seorang tokoh tabiin yang bernama Mutharif Ibn Al-Syikhir, “Seseorang tidak boleh naik ke atas bukit lalu melemparkan dirinya sendiri dan berkata: ini telah ditakdirkan Allah. Akan tetapi ia harus selalu berusaha dan berhati-hati. Jika setelah itu ia tetap tertimpa musibah, ia meyakini bahwa itu merupakan ketentuan Allah Swt.”
Maqam redha memberikan pesanan yang sangat jelas bahawa tugasan seorang hamba hanyalah merancang dan berupaya sekuat tenaga, sementara hasil dan natijah diserahkan sepenuhnya kepada ketentuan Allah Swt. Jika hasil itu baik, ia bersyukur atas anugerah Allah Swt. Dan jika hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkan, ia tidak pernah berputus asa. Sebaliknya, ia yakin bahwa ketentuan itu lebih baik untuknya kerana hikmah besar yang terdapat di sebalik musibah tersebut.
Syurga Dunia
Semua musibah dan kemalangan tentunya memang menyakitkan. Namun tidak ada musibah yang lebih pahit dan menyakitkan daripada musibah yang menembus ke dalam hati manusia. Musibah sekecil apapun, jika ianya ditanggapi dengan hati yang panik dan memberontak, maka musibah itu akan membesar sehingga terlalu berat untuk ditanggung. Semakin ia meratapi kemalangan tersebut, semakin sukar ia keluar daripadanya. Seorang ulama tabiin yang bernama Maimun bin Mahran pernah berkata, “Seseorang yang tidak dapat bersikap redha dengan ketentuan Allah, maka tidak ada penawar yang dapat mengobati kebodohannya.”
Dan sebaliknya, musibah sebesar apapun, jika ianya dihadapi dengan ketabahan dan lapang dada, maka ianaya akan larut di dalam keluasan hati itu ibarat setetes air kencing yang dituang ke dalam lautan luas untuk merusak kesuciannya. Tetesan najis itu tentu sahaja tidak dapat mengeruhkan lautan tersebut, malahan ianya akan larut di dalam keluasan air lautan yang suci dan mensucikan. Apabila hati berserah kepada ketentuan Allah, maka mata hati dan pikiran akan dapat dengan jernih melihat jalan keluar dari kesulitan yang dialaminya.
Bahkan jika sikap redha telah tertanam di hati, musibah akan terasa manis. Abu Bakar bin Thahir berkata, “Redha adalah mengusir kebencian dari dalam hati sehingga hanya kegembiraan dan kebahagiaan yang terdapat di dalamnya.” Seorang ‘abidah terkenal yang bernama Rabi’ah Al-‘Adawiah pernah ditanya, “Kapankah seseorang telah mencapai maqam redha?” Ia menjawab, “Apabila ia bergembira dengan musibah yang menimpanya sepertimana ia bergembira dengan nikmat yang diterimanya.”
Ucapan Rabi’ah ini terdengar agak mustahil dilakukan oleh orang-orang seperti kita. Namun hal itu tidak sukar bagi hamba-hamba Allah yang telah menanam keimanan sempurna di dalam hatinya sebagaimana kisah ‘Urwah bin Al-Zubeir di atas. Imam Al-Ghazali dalam “Ihya” menceritakan bahwa seseorang melihat luka yang terdapat di kaki Imam Wasi’ bin Hibban. Ia lalu berkata, “Setiap kali aku melihat luka ini, aku sangat kasihan kepadamu.” Wasi’ bin Hibban yang telah mencapai maqam redha menjawab, “Sejak luka ini keluar di kakiku, aku selalu bersyukur. Karena Allah Swt tidak menjadikan luka ini di dalam mataku.”
Singkat kata, orang yang memiliki sifat redha di hati akan selalu merasakan kebahagian tak terkira. Segala sesuatu yang ditemuinya di dunia ini akan terlihat begitu indah dan terasa begitu manis. Benar sekali sabda Nabi Saw, “Akan merasakan manisnya iman; seseorang yang redha Allah sebagai tuhannya, Islam sebagai agamanya, dan Muhammad Saw sebagai rasulnya.” (HR Al-Bukhari daripada ‘Abbas bin Abdul Muthalib).
Dalam hadis riwayat Abu Dawud dari Abu Said Al-Khudri, Rasulullah Saw juga bersabda, “Barangsiapa yang berkata: {aku redha Allah sebagai tuhanku, Islam sebagai agamaku, dan Nabi Muhammad Saw sebagai nabi dan rasulku}, maka dipastikan baginya syurga.” Tidak mustahil dengan sikap redha ini ia akan merasakan syurga dunia sebelum syurga akhirat. Sebagaimana ucapan Imam Abdul Wahid bin Zaid, “Sikap redha adalah pintu (menuju) Allah yang terbesar dan syurga dunia.”
Allah Swt selalu memperlakukan kita sepertimana kita memperlakukan-Nya. Apabila seorang hamba telah redha kepada semua ketentuan-Nya, maka itu menjadi suatu pertanda bahawa Allah swt telah meredhai orang itu sebagai hamba-Nya yang berbakti. Imam Al-’Arif billah Abu Al-Qasim Al-Qusyairi berkata di dalam kitab “Risalah”-nya yang terkenal, “Ketahuilah, seseorang hamba hampir tidak mungkin redha kepada (ketentuan) Allah melainkan setelah Allah redha kepadanya. Sebab Allah Swt berfirman, “Allah redha terhadap mereka dan merekapun redha kepadanya.” (Qs Al-Bayyinat : 8)
Namun sebaliknya kita juga harus ingat bahawa jika kita tidak meredhai apa yang telah Allah tentukan pada diri kita, samada yang berkaitan dengan bentuk tubuh kita, kondisi orang tua, pasangan atau anak kita, sifat kerjaya kita. atau perkara-perkara lain yang terdapat di dalam diri kita, maka itu pertanda bahawa kita belum menjadi hamba-hamba Allah yang memperolehi redha-Nya. Wallahu a’lam.
KEPENTINGAN REDHA :
Kali ini saya akan bercerita tentang seorang ulama ahli hadis dan fiqh di Madinah dari kalangan tabiin. Beliau adalah ‘Urwah putera pasangan dua orang sahabat Nabi Saw yang sangat terkenal, iaitu Al-Zubeir bin Al-‘Awwam dan isterinya Asma binti Abu Bakar Al-Siddiq. Sejak kecil, ‘Urwah tinggal serumah dengan adik ibunya, iaitu Aisyah binti Abu Bakar, isteri kesayangan Baginda Nabi Saw. Dan dari beliaulah ‘Urwah menimba hadis, tafsir, fiqh, faraid dan berbagai ilmu lainnya. Sehingga ketika dewasa ia diakui sebagai salah seorang daripada tujuh fuqaha Madinah (al-fuqaha al-sab’ah) yang menjadi rujukan fatwa pada masa itu. ‘Urwah bin Al-Zubeir meninggal dunia pada tahun 94 H.
Suatu hari ‘Urwah diundang oleh Khalifah Walid bin Abdul Malik untuk datang ke istananya di Syam. Di tengah perjalanan, ‘Urwah merasakan sesuatu terjadi di kakinya. Tidak lama kemudian, timbul sebuah bisul di kakinya yang lalu pecah dan menjadi sebuah luka. Setibanya di Syam, Khalifah mendatangkan seorang tabib untuk memeriksa luka tersebut. Tabib itu kemudian menyimpulkan bahwa luka itu sebuah infeksi yang jika tidak segera dihentikan dapat menyebar ke seluruh badan. Dan satu-satunya cara untuk menghentikan penyebaran infeksi itu adalah dengan memotong kaki tersebut.
‘Urwah setuju kakinya dipotong. Tabib menyarankan agar ia meminum obat bius terlebih dahulu sebelum operasi dilaksanakan agar ia tidak merasakan sakit, tapi ‘urwah menolak. Ia ingin tetap berada dalam kesadaran sehingga dapat mengingat Allah meski harus merasakan kepedihan yang sangat menyiksa. Akhirnya, jadilah tabib itu memotong kakinya dengan gergaji, sementara ‘Urwah dengan penuh kesabaran menyaksikan hal itu tanpa mengeluarkan suara kesakitan.
Pada saat yang sama, seorang anak ‘Urwah yang ikut bersamanya dalam perjalanan tersebut mengalami sebuah kemalangan. Seekor keledai menendangnya hingga mati. Apabila mendengar berita sedih ini, ‘Urwah tidak memberi komen apa-apa. Baru ketika dalam perjalanan pulang ke Madinah, ‘Urwah terdengar berkata seperti ini, “Ya Allah, Engkau memberiku tujuh orang anak. Jika Engkau mengambil satu orang, Engkau masih meninggalkan enam lainnya. Dan Engkau memberiku empat anggota (dua tangan dan dua kaki). Jika Engkau mengambil salah satunya, Engkau masih meninggalkan tiga lainnya.”
Masya Allah, tokoh besar ini masih dapat menemukan alasan untuk memuji Allah meski dalam musibah yang sangat memilu hati. Kisah ini dapat anda temui dalam kitab “Wafayat Al-A’yan” karya Ibn Khillikan dan buku muridnya: Imam Al-Dzahabi yang bertajuk “Siar A’lam Al-Nubala”.
Redha kepada Allah
Tidak banyak orang yang dapat tetap menjaga pikiran positif, apalagi bersyukur kepada Allah, di tengah hantaman musibah yang bertubi-tubi. Hanya orang-orang yang telah redha kepada Allah sahaja yang dapat melakukan hal itu. Imam Abdul Karim bin Hawazin Al-Qusyairi berkata, “Orang yang redha kepada Allah ialah orang yang tidak pernah menentang segala ketentuan-Nya.”
Sikap redha kepada ketentuan Allah didasari keyakinan teguh terhadap sifat-sifat Allah Swt seperti Maha Pengasih (Al-Rahman) penyayang (Al-Rahim), Maha Bijaksana (Al-Hakim) dan Maha Mengetahui (Al-‘Alim). Ia meyakini bahwa pengetahuan Allah jauh lebih tinggi dan lebih luas dibandingkan pengetahuan semua hamba-Nya. Justeru, Allah lebih mengetahui sesuatu yang baik atau yang buruk untuk hamba-Nya daripada hamba itu sendiri.
Dan karena sifat rahmat-Nya kepada makhluk, Allah hanya menentukan sesuatu yang terbaik untuk hamba-Nya meski ketentuan itu kadang terasa pahit. “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Qs Al-Baqarah: 216).
Namun begitu, sikap ini bukan menganjurkan sifat malas berupaya dan penyerahan diri sepenuhnya kepada nasib. Itu adalah bisikan Iblis untuk menyesatkan akal pikiran manusia. Imam Ahmad dalam kitab “Al-Zuhd” meriwayatkan daripada Ibn Syihab Al-Zuhri katanya: Iblis bertanya kepada Nabi Isa as: “Wahai Anak Maryam, bukankah musibah tidak akan menimpamu kecuali dengan ketentuan Allah?” Nabi Isa menjawab, “Benar, wahai musuh Allah.” Iblis berkata lagi, “Kalau begitu, cobalah engkau naik ke puncak gunung, lalu lemparkanlah dirimu dari atasnya. Lihatlah apakah engkau mati ataukah tidak?” Nabi Isa menjawab, “Wahai musuh Allah, sesungguhnya tuhan boleh menguji hamba-Nya, tapi hamba tidak boleh menguji tuhannya.”
Imam Al-Dzahabi dalam “Tazkiratul Huffaz” menceritakan ucapan seorang tokoh tabiin yang bernama Mutharif Ibn Al-Syikhir, “Seseorang tidak boleh naik ke atas bukit lalu melemparkan dirinya sendiri dan berkata: ini telah ditakdirkan Allah. Akan tetapi ia harus selalu berusaha dan berhati-hati. Jika setelah itu ia tetap tertimpa musibah, ia meyakini bahwa itu merupakan ketentuan Allah Swt.”
Maqam redha memberikan pesanan yang sangat jelas bahawa tugasan seorang hamba hanyalah merancang dan berupaya sekuat tenaga, sementara hasil dan natijah diserahkan sepenuhnya kepada ketentuan Allah Swt. Jika hasil itu baik, ia bersyukur atas anugerah Allah Swt. Dan jika hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkan, ia tidak pernah berputus asa. Sebaliknya, ia yakin bahwa ketentuan itu lebih baik untuknya kerana hikmah besar yang terdapat di sebalik musibah tersebut.
Syurga Dunia
Semua musibah dan kemalangan tentunya memang menyakitkan. Namun tidak ada musibah yang lebih pahit dan menyakitkan daripada musibah yang menembus ke dalam hati manusia. Musibah sekecil apapun, jika ianya ditanggapi dengan hati yang panik dan memberontak, maka musibah itu akan membesar sehingga terlalu berat untuk ditanggung. Semakin ia meratapi kemalangan tersebut, semakin sukar ia keluar daripadanya. Seorang ulama tabiin yang bernama Maimun bin Mahran pernah berkata, “Seseorang yang tidak dapat bersikap redha dengan ketentuan Allah, maka tidak ada penawar yang dapat mengobati kebodohannya.”
Dan sebaliknya, musibah sebesar apapun, jika ianya dihadapi dengan ketabahan dan lapang dada, maka ianaya akan larut di dalam keluasan hati itu ibarat setetes air kencing yang dituang ke dalam lautan luas untuk merusak kesuciannya. Tetesan najis itu tentu sahaja tidak dapat mengeruhkan lautan tersebut, malahan ianya akan larut di dalam keluasan air lautan yang suci dan mensucikan. Apabila hati berserah kepada ketentuan Allah, maka mata hati dan pikiran akan dapat dengan jernih melihat jalan keluar dari kesulitan yang dialaminya.
Bahkan jika sikap redha telah tertanam di hati, musibah akan terasa manis. Abu Bakar bin Thahir berkata, “Redha adalah mengusir kebencian dari dalam hati sehingga hanya kegembiraan dan kebahagiaan yang terdapat di dalamnya.” Seorang ‘abidah terkenal yang bernama Rabi’ah Al-‘Adawiah pernah ditanya, “Kapankah seseorang telah mencapai maqam redha?” Ia menjawab, “Apabila ia bergembira dengan musibah yang menimpanya sepertimana ia bergembira dengan nikmat yang diterimanya.”
Ucapan Rabi’ah ini terdengar agak mustahil dilakukan oleh orang-orang seperti kita. Namun hal itu tidak sukar bagi hamba-hamba Allah yang telah menanam keimanan sempurna di dalam hatinya sebagaimana kisah ‘Urwah bin Al-Zubeir di atas. Imam Al-Ghazali dalam “Ihya” menceritakan bahwa seseorang melihat luka yang terdapat di kaki Imam Wasi’ bin Hibban. Ia lalu berkata, “Setiap kali aku melihat luka ini, aku sangat kasihan kepadamu.” Wasi’ bin Hibban yang telah mencapai maqam redha menjawab, “Sejak luka ini keluar di kakiku, aku selalu bersyukur. Karena Allah Swt tidak menjadikan luka ini di dalam mataku.”
Singkat kata, orang yang memiliki sifat redha di hati akan selalu merasakan kebahagian tak terkira. Segala sesuatu yang ditemuinya di dunia ini akan terlihat begitu indah dan terasa begitu manis. Benar sekali sabda Nabi Saw, “Akan merasakan manisnya iman; seseorang yang redha Allah sebagai tuhannya, Islam sebagai agamanya, dan Muhammad Saw sebagai rasulnya.” (HR Al-Bukhari daripada ‘Abbas bin Abdul Muthalib).
Dalam hadis riwayat Abu Dawud dari Abu Said Al-Khudri, Rasulullah Saw juga bersabda, “Barangsiapa yang berkata: {aku redha Allah sebagai tuhanku, Islam sebagai agamaku, dan Nabi Muhammad Saw sebagai nabi dan rasulku}, maka dipastikan baginya syurga.” Tidak mustahil dengan sikap redha ini ia akan merasakan syurga dunia sebelum syurga akhirat. Sebagaimana ucapan Imam Abdul Wahid bin Zaid, “Sikap redha adalah pintu (menuju) Allah yang terbesar dan syurga dunia.”
Allah Swt selalu memperlakukan kita sepertimana kita memperlakukan-Nya. Apabila seorang hamba telah redha kepada semua ketentuan-Nya, maka itu menjadi suatu pertanda bahawa Allah swt telah meredhai orang itu sebagai hamba-Nya yang berbakti. Imam Al-’Arif billah Abu Al-Qasim Al-Qusyairi berkata di dalam kitab “Risalah”-nya yang terkenal, “Ketahuilah, seseorang hamba hampir tidak mungkin redha kepada (ketentuan) Allah melainkan setelah Allah redha kepadanya. Sebab Allah Swt berfirman, “Allah redha terhadap mereka dan merekapun redha kepadanya.” (Qs Al-Bayyinat : 8)
Namun sebaliknya kita juga harus ingat bahawa jika kita tidak meredhai apa yang telah Allah tentukan pada diri kita, samada yang berkaitan dengan bentuk tubuh kita, kondisi orang tua, pasangan atau anak kita, sifat kerjaya kita. atau perkara-perkara lain yang terdapat di dalam diri kita, maka itu pertanda bahawa kita belum menjadi hamba-hamba Allah yang memperolehi redha-Nya. Wallahu a’lam.